HUBUNGAN
ANTARA MATEMATIKA DAN AGAMA DALAM
MEMBENTUK
KARAKTER MATEMATIS-AGAMIS
Oleh:
Teguh Wibowo, M.Pd
Pendahuluan
Kerusakan
ilmu saat ini sedang menimpa umat islam Indonesia. Di lembaga pendidikan umum
terjadi kebodohan (ignorance)
terhadap ilmu agama. Banyak sekali sarjana-sarjana dalam bidang ilmu
pengetahuan tertentu yang tidak bisa membaca Al-Quran atau memahami
ajaran-ajaran pokok agama Islam. Padahal ilmu-ilmu agama adalah ilmu yang wajib
dimiliki (fardlu ‘ain) oleh setiap
muslim. Demikian juga, semakin bertambah ilmu semestinya bertambah pula
keimanan seseorang akan Rabbnya (Nashruddin Syarif, 2013). Akan tetapi yang
banyak terjadi, semakin pintar seseorang dalam ilmu pengetahuan misal
matematika, tidak semakin menambah keyakinan akan Rabbnya. Pemisahan
nilai-nilai ketuhanan dari setiap ilmu yang dipelajari telah menyebabkan anak
didik sekuler dari nilai-nilai agamanya.
Ilmu
pengetahuan yang berkembang saat ini tidak terlepas dari ilmu pengetahuan Barat
yang modern dan sekuler. Dalam pandangan Muhammad Naquib al-Attas (Adnin Armas,
2013) peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Sekalipun
peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban
tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Ilmu Barat
modern tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan
tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan
kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Dalam
pandangan Islam sumber ilmu tidak hanya berasal dari pengamatan objek fisik
yang logis dan objektif, tetapi juga berasal dari wahyu, as-sunnah, akal dan
kalbu, serta indera (Dinar Dewi Kania, 2013). Berbeda dengan pandangan barat
yang memposisikan otak atau akal sebagai sumber ilmu, mereka berpendapat bahwa
ilmu itu harus rasional dan dapat dibuktikan secara empiris. Barat menekankan
bahwa, jika ilmu tidak dapat dibuktikan secara empiris maka hal itu bukan
termasuk ilmu. Inilah yang dapat membahayakan umat Islam karena selama ini
bersentuhan langsung dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat.
Sekulerisasi
ilmu pengetahuan yang dikembangkan barat dapat kita lihat dari salah satu
penemuan Charles Robert Darwin (1882 M). Pandangan barat mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan itu tidak berhubungan dengan agama. Dengan kata lain tidak ada
hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Untuk menguatkan hal ini Darwin
mengatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan makhluk hidup. Bagi
Darwin, asal mula spesies (origin of
species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”
(adaptation to the environment).
Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup, semua spesies yang
berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi
berbeda antara satu dengan yang lain disebabkan kondisi alam (natural condition).
Pandangan
Darwin di atas jelas menunjukkan pemikiran yang sangat sekuler. Darwin berusaha
berlepas diri dari agama dan memang itu keyakinan pandangan Barat agar
menguatkan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara ilmu pengetahuan dengan
agama. Bagaimana mungkin Tuhan tidak berperan dalam penciptaan makhluk hidup.
Pandangan ini jelas sangat bertentangan dengan pandangan Islam. Islam
mengatakan bahwa pencipta makhluk hidup dan alam semesta ini adalah Tuhan yaitu
Allah SWT. Banyak sekali ayat Al-Quran yang menguatkan hal ini, diantaranya.
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi
lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak
Mengetahui.”(Al Mukmin: 57)
Tidak
hanya itu, Al-Quran juga merupakan sumber ilmu pengetahuan. Perhatikan arti ayat Al-Quran
di bawah ini.
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”(Al-Baqarah: 2)
Hal inilah yang
membedakan antara Islam dengan Barat. Al-Quran merupakan petunjuk buat umat
manusia. Petunjuk tidak hanya berkaitan dengan syariat agama tetapi berkaitan
pula dengan ayat-ayat kauniyah yang erat sekali dengan ilmu pengetahuan. Al-Quran
juga mengungkap tentang asal mula kehidupan, siklus air, peredaran benda-benda
langit, astronomi dll yang dapat menginspirasi perkembangan ilmu pengetahuan
alam dan sains. Bahkan matematikapun banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran.
Penciptaan alam semesta ini melalui perhitungan yang sangat detail oleh Allah
SWT. Sehingga, sebenarnya Allah telah menurunkan matematika melalui ayat-ayat Al-Quran,
namun kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Demikian pula sebaliknya apakah
dalam matematika memuat pula sifat-sifat agamis yang dapat menjadi karakter
kepribadian manusia dalam hidup sehari-hari. Makalah ini akan menguraikan bagaimana
hubungan antara agama (terutama Al-Quran) dengan matematika yang kita sebut
dengan agamis-matematis demikian pula sebaliknya. Kita mulai uraian makalah ini
dengan hakekat matematika terlebih dahulu.
Hakekat Matematika
Secara bahasa (lughawi), kata
“matematika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “mathema” atau mungkin
juga “mathematikos” yang artinya hal-hal yang dipelajari. Bagi
orang Yunani, matematika tidak hanya meliputi pengetahuan mengenai angka dan
ruang, tetapi juga mengenai musik dan ilmu falak (astronomi). Andi Hakim Nasoetion
(1980) menyatakan bahwa matematika berasal dari bahasa Yunani “mathein”
atau “manthenein” yang artinya “mempelajari”.
Orang Belanda, menyebut matematika dengan wiskunde, yang artinya ilmu
pasti. Sedangkan orang Arab, menyebut matematika dengan ‘ilmu al hisab,
artinya ilmu berhitung.
Secara istilah, sampai saat ini
belum ada definisi yang tepat mengenai matematika. Para ahli filsafat dan ahli
matematika telah mencoba membuat definisi matematika, tetapi sampai sekarang
belum ada yang menyatakan bahwa jawabannya adalah yang terakhir. Belum ada
definisi yang disepakati untuk menjelaskan matematika itu apa. Di antara
definisi-definisi yang dibuat para ahli matematika adalah sebagai berikut.
1.
Matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang.
2.
Matematika adalah ilmu tentang besaran (kuantitas).
3.
Matematika adalah ilmu tentang hubungan (relasi).
4.
Matematika adalah ilmu tentang bentuk (abstrak).
5.
Matematika adalah ilmu yang bersifat deduktif.
6.
Matematika adalah ilmu tentang struktur-struktur yang
logik.
Meskipun sukar untuk menentukan
definisi yang tepat tentang matematika, namun pada dasarnya terdapat
sifat-sifat yang mudah dikenali pada matematika. Ciri khas matematika yang
tidak dimiliki pengetahuan lain adalah (1) merupakan abstraksi dari dunia
nyata, (2) menggunakan bahasa simbol, dan (3) menganut pola pikir deduktif
(Abdussakir, 2009).
Matematika merupakan abstraksi dari
dunia nyata. Abstraksi secara bahasa berarti proses pengabstrakan. Abstraksi
sendiri dapat diartikan sebagai upaya untuk menciptakan definisi dengan jalan
memusatkan perhatian pada sifat yang umum dari berbagai objek dan mengabaikan
sifat-sifat yang berlainan. Karena matematika merupakan abstraksi dari dunia
nyata, maka objek matematika bersifat abstrak, tetapi dapat dipahami maknanya.
Untuk menyatakan hasil abstraksi,
diperlukan suatu media komunikasi atau bahasa. Bahasa yang digunakan dalam
matematika adalah bahasa simbol. Untuk menyatakan bilangan “dua” digunakan
simbol “2”. Simbol untuk bilangan disebut angka. Penggunaan bahasa simbol
mempunyai dua keuntungan yaitu (a) sederhana dan universal, dan (b) mempunyai
makna yang luas.
Simbol dalam matematika juga
mempunyai makna yang luas. Karena luasnya makna yang tersirat, kadang simbol
matematika dikatakan tidak bermakna atau kosong dari arti. Simbol matematika
kosong dari makna. Sebagai contoh, simbol “2” memang mewakili bilangan dua.
Tetapi dalam hal ini “dua apa?”. Simbol itu akan mempunyai makna jika sudah
dikaitkan dengan konteks tertentu, misalnya 2 buku.
Selain mempunyai sifat bahwa
matematika adalah abstrak dan menggunakan bahasa simbol, matematika bersifat
deduktif. Matematika menganut pola pikir atau penalaran deduktif. Penalaran
deduktif adalah pola berpikir yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang
secara umum sudah terbukti benar. Kebenaran yang diperoleh dari beberapa contoh
khusus yang kemudian digeneralisasi, masih dikatakan bersifat induktif dan
belum diterima kebenarannya dalam matematika. Kebenaran induktif itu akan
diterima setelah dibuktikan dengan penalaran yang ketat dan logis. Meskipun
matematika bersifat deduktif, ahli matematika juga tetap memperhatikan ilham,
dugaan, pengalaman, daya cipta, rasa, dan fenomena dalam mengembangkan
matematika. Kesimpulan dari pengembangan itu akan diterima setelah ditetapkan
atau dibuktikan melalui penalaran logis.
Hubungan Agama dan Matematika
Ada petuah yang sangat berharga
mengenai pentingnya penguasaan bahasa, yaitu “jika ingin mengenal suatu
bangsa, kuasailah bahasanya”. Petuah ini mempunyai arti bahwa jika kita
ingin mengenal, memahami atau bahkan berdialog dengan suatu bangsa, baik
manusia maupun binatang, maka kuasailah bahasanya. Jika kita ingin berdialog
dengan orang Inggris, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa Inggris. Jika kita
ingin berdialog dengan orang Malaysia, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa Melayu.
Jika kita ingin berdialog, mengerti atau memahami ayat-ayat Qauliyah, yaitu Al-Quran,
maka kuasailah bahasa Arab. Lalu, jika kita ingin berdialog, mengerti atau
memahami ayat-ayat kauniyah, yaitu alam semesta, jagad raya dan
isinya, maka bahasa apa yang harus kita kuasai? Bahasa apa yang harus kita
gunakan untuk memahaminya? Jawabannya adalah MATEMATIKA.
Cobalah perhatikan tata surya. Perhatikan bentuk matahari,
bumi, bulan serta planet-planet yang lain. Semuanya berbentuk bola. Perhatikan
bentuk lintasan bumi saat mengelilingi matahari, demikian juga
lintasan-lintasan planet lain saat mengelilingi matahari. Lintasannya berbentuk
elips. Berdasarkan fakta ini, tidaklah salah jika kemudian pada sekitar tahun
1200 Masehi, Galilio Galilie mengatakan “Mathematics is the language with
wich God created the universe”. Melalui penelitian dan penelaahan yang
mendalam terhadap fenomena alam semesta, ilmuwan pencetus Teori Big-Bang, yaitu
Stephen Hawking akhirnya mengikuti ungkapan Galilio dengan mengatakan “Tuhanlah
yang menciptakan alam dengan bahasa itu (Matematika)”.
Jika kita melihat ke dalam Al-Quran, maka kita tidak
akan terkejut atau mungkin akan mengatakan bahwa ungkapan Galilio ataupun
Hawking adalah basi. Sekitar 600 tahun sebelumnya, Al-Quran sudah menyatakan
bahwa segala sesuatu diciptakan secara matematis. Perhatikan firman Allah dalam
Al-Quran surat Al-Qamar ayat 49 yang artinya
"Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran."
Semua yang ada di alam ini ada ukurannya, ada
hitungan-hitungannya, ada rumusnya, atau ada persamaannya.
Ahli matematika atau fisika tidak
membuat suatu rumus sedikitpun. Mereka hanya menemukan rumus atau persamaan.
Albert Einstein tidak membuat rumus e = mc2, dia
hanya menemukan dan menyimbolkannya. Rumus-rumus yang ada sekarang bukan
diciptakan manusia, tetapi sudah disediakan. Manusia hanya menemukan dan
menyimbolkan dalam bahasa matematika. Lihatlah bagaimana Archimedes menemukan
hitungan mengenai volume benda melalui media air. Hukum Archimedes itu sudah
ada sebelumnya, dan dialah yang menemukan pertama kali melalui hasil menelaah
dan membaca ketetapan Allah SWT.
Pada masa-masa mutakhir ini,
pemodelan-pemodelan matematika yang dilakukan manusia sebenarnya bukan membuat
sesuatu yang baru. Pada hakikatnya, mereka hanya mencari persamaan-persamaan
atau rumus-rumus yang berlaku pada suatu fenomena. Bahkan, wabah seperti demam
berdarah, malaria, tuberkolosis, bahkan flu burung ternyata mempunyai
aturan-aturan yang matematis. Sungguh, segala sesuatu telah diciptakan dengan
ukuran, perhitungan, rumus, atau persamaan tertentu yang sangat rapi dan
teliti. Perhatikan Al-Quran surat Al-Furqan ayat 2 yang artinya
"Dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya".
Salah satu
kegiatan matematika adalah kalkulasi atau menghitung, sehingga tidak salah jika
kemudian ada yang menyebut matematika adalah ilmu hitung atau ilmu al-hisab.
Dalam urusan hitung menghitung ini, Allah SWT adalah ahlinya. Allah sangat cepat dalam menghitung dan sangat teliti. Kita perhatikan ayat-ayat
Al-Quran yang menjelaskan bahwa Allah sangat cepat dalam membuat perhitungan dan sangat teliti.
Dalam Al-Quran surat An-Nuur ayat 39
disebutkan,
artinya: Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.
Dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 199 disebutkan,
artinya: Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 202 disebutkan,
artinya: dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Dalam Al-Quran surat Ar-Ra’d ayat 41 disebutkan,
artinya: Dia-lah Yang Maha cepat perhitungan-Nya.
Dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 62 disebutkan,
artinya: Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.
Lalu, siapa
yang dapat menghitung dengan cepat kalau bukan ahli matematika? Siapa yang dapat menentukan aturan-aturan, rumus-rumus, ukuran-ukuran, dan
hukum-hukum jagad raya dengan begitu telitinya kalau bukan ahli matematika?
Lalu, kalau Allah SWT serba maha dalam matematika, mengapa kita tidak mau
mempelajarinya? Mengapa kita tidak suka bahkan benci terhadap
matematika? Padahal Allah suka dan sangat pintar dalam matematika. Mengapa kita
sebagai makhluknya tidak mau menyukai matematika atau bahkan tidak mau
mempelajari matematika. Bagaimana kita dapat memahami alam
semesta ini yang menggunakan bahasa matematika kalau kita tidak menguasai matematika? Kuncinya
adalah kita harus mempelajari matematika. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan matematika walaupun tidak tersirat secara langsung. Itulah
tugas kita untuk menggalinya. Demikian pula ayat-ayat kauniyah yang ada di alam
semesta ini sangat berhubungan erat dengan matematika. Inilah ciri dari
karakter agamis-matematis, bahwa dalam agama juga tidak terlepas dari
matematika, ada kaitan erat antara agama dengan matematika.
Karakter Agamis-Matematis
Pada bagian di atas, telah
dijelaskan bahwa ada hubungan erat antara agama dengan matematika. Matematika
memegang peranan penting untuk dapat mengungkap misteri-misteri yang ada di
alam semesta ini baik itu yang tersirat di dalam Al-Quran atau yang ada dalam
alam semesta itu sendiri. Namun, pada kenyataannya masih banyak di kalangan
umat Islam sendiri yang membenci matematika dan menyatakan bahwa matematika
merupakan ilmu kafir. Sungguh suatu fenomena yang aneh. Dzat yang disembah
menyukai matematika, sedangkan penyembahnya justru membenci matematika.
Ada ayat dalam Al-Quran yang secara
tersirat memerintahkan umat Islam untuk mempelajari matematika, yakni berkenaan
dengan masalah faraidh. Masalah faraidh adalah masalah yang
berkenaan dengan pengaturan dan pembagian harta warisan bagi ahli waris menurut
bagian yang ditentukan dalam Al-Quran. Untuk pembagian harta warisan perlu
diketahui lebih dahulu berapa jumlah semua harta warisan yang ditinggalkan,
berapa jumlah ahli waris yang berhak menerima, dan berapa bagian yang berhak
diterima ahli waris. Berkenaan dengan bagian yang berhak diterima oleh ahli
waris, Al-Quran menjelaskan dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12, dan 176.
Ketentuan bagian yang berhak diterima oleh ahli waris disebut furudhul
muqaddarah. Terdapat enam macam furudhul muqaddarah, yaitu ..., ...,
..., ..., ..., dan ....
Untuk dapat memahami dan dapat
melaksanakan masalah faraidh dengan baik maka hal yang perlu dipahami
lebih dahulu adalah konsep matematika yang berkaitan dengan bilangan pecahan,
pecahan senilai, konsep keterbagian, faktor persekutuan terbesar (FPB),
kelipatan persekutan terkecil (KPK), dan konsep pengukuran yang meliputi
pengukuran luas, berat, dan volume. Pemahaman terhadap konsep-konsep tersebut
akan memudahkan untuk memahami masalah faraidh.
Selain masalah faraidh, tertulis dalam Al-Quran bahwa tujuan diciptakannya
matahari dan bulan salah satunya adalah agar manusia dapat mengetahui
perhitungan waktu, sebagaimana firman Allah dalam QS Yunus ayat 5.
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan
haq. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui.
Masalah penentuan awal waktu shalat,
awal bulan, awal tahun, pembuatan kalender hijriyah atau masehi, bahkan arah
kiblat secara tepat dan akurat banyak memerlukan bantuan matematika. Sesuatu
yang sungguh tidak masuk akal adalah ketika ada seorang tokoh agama yang menetapkan
awal waktu shalat dengan rubu’
tetapi membenci matematika. Dia tidak mengerti bahwa arti kata rubu’ adalah seperempat, yaitu seperempat
lingkaran. Dia tidak mengerti bahwa rubu’ banyak melibatkan konsep
trigonometri yang merupakan materi matematika. Apakah tidak aneh jika orang
telah menggunakan matematika, tetapi menyatakan matematika ilmu kafir dan
membencinya?
Pada sekitar abad ke-8 dan 9 Masehi,
ilmu pengetahuan yang paling disukai umat Islam adalah matematika dan
astronomi. Aritmetika dipelajari oleh matematikawan muslim untuk menghitung
warisan dan pembuatan kalender Islam. Matematika atau geografi astronomi
diperlukan untuk menentukan arah kiblat. Astronomi juga diperlukan untuk
penentuan awal shalat, awal dan akhir puasa Ramadhan, serta hari raya umat
Islam. Ayat Al-Quran dan As-Sunnah banyak yang menyinggung masalah ini.
Demikian pula pengetahuan mengenai posisi bintang sangat membantu dalam
mengatur petunjuk perjalanan untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan, kaum
muslimin menjelang abad ke-9 terkenal sebagai pengembang observatorium.
Dalam penentuan posisi hilal (bulan
baru) tidak terlepas dari peran matematika. Di Indonesia disepakati untuk dapat
melihat posisi hilal harus berada 3 derajat di atas ufuk. Untuk dapat
mengetahui berapa besarnya 3 derajat ini harus menggunakan matematika yaitu
trigonometri. Mungkin agak sedikit berbeda antara 3 derajat pada bidang datar
dengan bangun ruang. Kita tahu bahwa bahwa bumi ini berbentuk bulat (bangun
ruang), sehingga untuk menentukan besarnya 3 derajat ini bisa menggunakan
aturan-aturan trigonometri pada bangun ruang (bola). Namun untuk dapat melihat
posisi hilal kadang kala memiliki keterbatasan, misal cuaca yang tidak
mendukung. Ada cara lain yang dapat digunakan untuk melihat posisi hilal apakah
benar-benar sudah di atas ufuk yaitu dengan menggunakan metode hisab. Metode
ini melalui perhitungan matematis peredaran matahari dan bulan selama satu
tahun penuh. Dengan metode ini dapat diketahui kapan bulan baru akan muncul di
atas ufuk, karena pada dasarnya semua peredaran benda-benda langit selalu tetap
yaitu mengikuti sunatullah. Sehingga dalam hal ini keterbatasan dalam memahami
hukum-hukum agama dapat dibantu dengan pendekatan matematis. Inilah seharusnya
dapat menjadi suatu karakter mahasiswa muslim dalam memahami ayat-ayat Allah,
ada kaitan erat antara agama dengan matematika. Insyaallah dapat menjadikan
mahasiswa yang memiliki karakter agamis-matematis.
Karakter Matematis-Agamis
Banyak pandangan tentang matematika,
beberapa mengemukakan tentang ciri objeknya. Ada juga yang memandangnya dari pengaruhnya
terhadap pola pikir dan pola tindak seseorang. Dengan kata lain sifat yang ada
pada matematika dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Kepribadian
matematika seseorang adalah hasil tempaan dari pemahaman dan pengalamannya
tentang matematika. Pengalaman seseorang atau mahasiswa tentang matematika
dapat membangun pola sikap yang positif, antara lain sikap rasional, sistematis dalam bertindak, kreatif, disiplin, hati-hati
dan sikap lain yang positif dalam berpikir, berbicara dan bertindak (Djoko Iswadji, 2010). Kalimat itu
dapat dipahami karena matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang tersusun
secara hirarkis dari segi penalaran deduktif. Dengan demikian, mereka yang
mempelajari matematika dengan sungguh-sungguh dan penuh pemahaman diharapkan
memiliki sifat-sifat positif yang agamis, antara lain:
1.
Sederhana
Sifat ini
dapat terbangun dari konsensus dalam matematika bahwa setiap persyaratan baik
dalam penyusunan definisi, teorema, maupun penyelesaian akhir harus disajikan
dalam bentuk yang paling sederhana. Sebagai contoh dalam matematika diusahakan
untuk menyederhanakan bentuk pecahan atau bentuk aljabar dalam bentuk yang
paling sederhana. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah bahwa kita
dianjurkan untuk hidup secara sederhana di dunia ini dan tidak
berlebih-lebihan.
2.
Rasional
Setiap
langkah dalam penyelesaian masalah matematika secara deduktif maupun induktif harus
selalu didasarkan atas alasan yang jelas, rasional dan logis dan dapat
dibuktikan kebenarannya. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah kita harus
mengemukakan alasan-alasan yang rasional dan logis dalam menyampaikan pendapat
ketika berdiskusi atau bermusyawarah.
3.
Sistematis
Dalam setiap
langkah penyelesaian masalah harus dimulai dengan suatu perencanaan yang disusun
dalam urutan yang sistematis. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah dalam
setiap kita melakukan suatu pekerjaan harus tertata dengan baik dan tidak
membuat langkah yang tidak berguna.
4.
Kreatif
Dalam pemecahan masalah matematika dituntut kemampuan melakukan
rekayasa, atau manipulasi bentuk-bentuk aljabar ataupun geometri untuk dapat memudahkan
menemukan jawabannya. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah ketika
menjumpai permasalahan dalam kehidupan kita dianjurkan agar menyelesaikannya
secara kreatif.
5.
Cermat dan hati-hati
Dalam penyusunan definisi harus dipilih kata-kata
tertentu dalam susunan yang khusus, sehingga tidak mendua arti. Demikian juga
dalam perhitungan, tanpa kehati-hatian dan kecermatan, sekalipun menggunakan
perlengkapan canggih, harus diutamakan agar diperoleh hasil yang optimal. Dalam
matematika jika kita tidak cermat dalam melakukan perhitungan maka bisa
berakibat jawaban yang salah. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah sifat
cermat dan hati-hati sangat penting dalam kehidupan agar kita tidak salah dalam
melangkah.
6.
Kritis (matematika dapat menumbuhkan sifat kritis)
Dalam menyelesaikan masalah kita harus kritis apakah
jawaban yang ada apakah sudah benar atau belum. Bisa saja apa yang disampaikan
teman, guru atau dosen dalam menjawab masalah belum sepenuhnya benar. Sifat ini
sangat penting dalam kehidupan agar kita memiliki sikap yang kritis terhadap
hal-hal yang ada di sekitar kita. Coba renungkan Al-Quran surat An-Nuur ayat
31.
7.
Pasti
Matematika bersifat pasti dan tidak menduga-duga.
Jawaban masalah dalam matematika bersifat pasti, inilah yang membedakan
matematika dengan ilmu yang lain. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah
meyakani bahwa datangnya hari akhir itu pasti.
8.
Sabar
Belajar matematika juga mengajarkan kita menjadi orang
yang sabar dalam menghadapi semua hal dalam hidup ini. Saat kita mengerjakan
soal dalam matematika yang penyelesaiannya sangat panjang dan rumit, tentu kita
harus bersabar dan tidak cepat putus asa. Jika ada langkah yang salah, coba
untuk diteliti lagi dari awal, jangan-jangan ada angka yang salah,
jangan-jangan ada perhitungan yang salah.
9.
Objektif/Jujur
Belajar matematika mengajarkan kepada kita sifat
objektif atau jujur. Objektif dalan arti memang jawabannya seperti itu dan
tidak dibuat-buat. Usahakan dalam hidup ini kita bersifat objektif dan tidak
bersifat subjektif.
10. Konsisten/Istiqomah
Penulisan dalam matematika selalu konsisten tidak
berubah-ubah. Penulisan simbol selalu sama walaupun berbeda tempat dan wilayah.
Sifat konsisten/istiqomah ini juga sesuai dengan ajaran islam bahwa kita
diusahakan agar selalu istiqomah dalam menjalankan perintah Allah. Sebaik-baik
amal seorang hamba adalah yang selalu istiqomah walaupun itu sedikit.
11. Efektif dan
Efisien
Dalam menyelesaikan masalah matematika kadang dijumpai
solusi yang beragam atau dijumpai tidak hanya satu solusi. Kita harus bisa memilih
mana solusi yang paling efektif agar waktu yang ditempuh efisien. Sifat ini
dapat kita contoh sehari-hari dalam melakukan pekerjaan atau belajar agar
efektif dan efisien.
Selain itu matematika juga memiliki sifat atau
karakteristik yang dapat kita kaitkan dengan kehidupan agamis. Sifat atau
karakteristik bisa diambil langsung dari matematika itu sendiri.
1.
Hirarkis
Matematika bersifat hirarkis, untuk mengusai
matematika tingkat lanjut harus mengusai tingkat dasar terlebih dahulu.
Demikian pula dalam kehidupan, untuk bisa sukses dalam kehidupan harus dimulai
dari dasar terlebih dulu. Banyak kita jumpai orang-orang yang sukses sekarang
ini dulunya ia berasal dari kehidupan yang sederhana atau dimulai dari dasar.
2.
Silaturahmi
Matematika juga mengajarkan silaturahmi. Sifat ini
dapat kita ambil ketika belajar pemetaan atau relasi. Dalam pemetaan setiap
anggota domain dapat dipetakan ke semua anggota kodomain. Sifat yang dapat
diambil adalah kita dapat bersilaturahmi kemana saja, tidak ada halangan
bersilaturahmi dalam Islam. Rasulullah
SAW bersabda: Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan
dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan
(silaturahmi). (HR: Muslim)
3.
Mengambil Saripati
Konsep turunan mengajarkan kepada kita untuk dapat
mengambil inti atau saripati dalam setiap proses. Untuk dapat mengetahui titik
stasioner suatu fungsi maka fungsi tersebut harus diturunkan terlebih dahulu. Kadang
kala kita tidak bisa mengambil manfaat langsung dari sesuatu tetapi harus
diturunkan dulu, contoh: bensin diturunkan dari minyak bumi, minyak sayur
diturunkan dari kopra, jus dapat diturunkan dari buah, dsb).
4.
Mengembang
Alam semesta ini bersifat mengembang. Konsep ini
sangat relevan ketika kita belajar garis bilangan real. Garis bilangan real itu
mengembang, tiada akhir baik pada sumbu positif atau negatif. Alam semesta ini
mengembang dan tidak statis, seperti suatu balon yang ditiup.
5.
Awal dan Akhir Kehidupan
Vektor mengajarkan kepada kita untuk menggambar dari
suatu pangkal dan berakhir di ujung. Demikian pula dalam kehidupan ini ada awal
dan akhir.
6.
Peluang
Peluang mengajarkan kepada kita bahwa kemungkinan suatu
kejadian itu ada. Intinya kita tidak boleh pesimis dalam hidup ini.
7.
Limit
Segala suatu kehidupan akan mendekati limit, contoh:
keuangan, kehidupan, masalah dan bahkan sesuatu yang dibeli akan mendekati
limit, dsb.
8.
Islam Itu Satu
Konsep integral dapat mengajarkan kepada kita bahwa
islam itu satu. Bentuk integral merupakan jumlah dari suatu luasan yang
mendekati tak hingga. Luasan ini tidak hanya satu tetapi banyak, yang disatukan
dalam suatu simbol dalam matematika yaitu integral. Demikian pula umat islam,
walaupun sekarang ini terpecah dalam berbagai kelompok namun seharusnya islam
itu satu yang dapat disatukan dalam suatu sistem.
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai...” (TQS, Ali Imron: 103).
9.
Siklus Kehidupan
Siklus kehidupan menggambarkan naik turunnya proses
kehidupan ini, kadang kala kita di atas,
kadang kita di bawah. Hal ini sangat identik dengan grafik trigonometri fungsi
sinus dan cosinus. Grafik ini sepertinya dapat menggambarkan suatu proses
kehidupan manusia.
Masih banyak materi matematika yang dapat dikaitkan
dengan kehidupan ini, tentunya dilihat dari sisi agamisnya ataupun dari sisi
sains. Silahkan para mahasiswa dapat menggali lebih jauh apa yang belum
tertulis dalam makalah ini. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi mahasiswa
untuk dapat berperilaku secara matematis-agamis ataupun sebaliknya.
Daftar Pustaka
Abdussakir.
2009. Pentingnya Matematika Dalam Pemikiran Islam. Disampaikan pada Seminar
Internasional “The Role of Sciences and Technology in Islamic Civilization”
di UIN Malang, tahun 2009.
Adnin Armas. 2013. Sekulerisasi Ilmu. Jakarta: Gema Insani.
Al-Quran dan Terjemahan. Tersedia dalam
Digital Quran versi 3.1.
Andi Hakim Nasoetion. 1980. Landasan
Matematika. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Dinar Dewi Kania. 2013. Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu.
Jakarta: Gema Insani.
Djoko Iswadji. 2010. Matematika vs Kehidupan Manusia.
Yogyakarta: UAD
Nashruddin Syarif. 2013. Konsep Ilmu Dalam Islam. Jakarta: Gema
Insani.
Shahih Muslim. Kumpulan
dan Referensi Belajar Hadits. Tersedia dalam Haditsweb versi 3.0.
Himpunan Mahasiswa Pendidikan Matematika
Universites Muhammadiyah Purworejo
Purworejo, 15 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar