Selamat Datang di Cerita Masa Remaja Mutiara Dasar Samudra
Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Rabu, 23 Juli 2014

Makalah Seminar "Matematika sebagai Istana Pendidikan Karakter Matematis Mahasiswa Agamis"



HUBUNGAN ANTARA MATEMATIKA DAN AGAMA DALAM

MEMBENTUK KARAKTER MATEMATIS-AGAMIS

Oleh: Teguh Wibowo, M.Pd

Pendahuluan
Kerusakan ilmu saat ini sedang menimpa umat islam Indonesia. Di lembaga pendidikan umum terjadi kebodohan (ignorance) terhadap ilmu agama. Banyak sekali sarjana-sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu yang tidak bisa membaca Al-Quran atau memahami ajaran-ajaran pokok agama Islam. Padahal ilmu-ilmu agama adalah ilmu yang wajib dimiliki (fardlu ‘ain) oleh setiap muslim. Demikian juga, semakin bertambah ilmu semestinya bertambah pula keimanan seseorang akan Rabbnya (Nashruddin Syarif, 2013). Akan tetapi yang banyak terjadi, semakin pintar seseorang dalam ilmu pengetahuan misal matematika, tidak semakin menambah keyakinan akan Rabbnya. Pemisahan nilai-nilai ketuhanan dari setiap ilmu yang dipelajari telah menyebabkan anak didik sekuler dari nilai-nilai agamanya.
Ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini tidak terlepas dari ilmu pengetahuan Barat yang modern dan sekuler. Dalam pandangan Muhammad Naquib al-Attas (Adnin Armas, 2013) peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Sekalipun peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Ilmu Barat modern tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Dalam pandangan Islam sumber ilmu tidak hanya berasal dari pengamatan objek fisik yang logis dan objektif, tetapi juga berasal dari wahyu, as-sunnah, akal dan kalbu, serta indera (Dinar Dewi Kania, 2013). Berbeda dengan pandangan barat yang memposisikan otak atau akal sebagai sumber ilmu, mereka berpendapat bahwa ilmu itu harus rasional dan dapat dibuktikan secara empiris. Barat menekankan bahwa, jika ilmu tidak dapat dibuktikan secara empiris maka hal itu bukan termasuk ilmu. Inilah yang dapat membahayakan umat Islam karena selama ini bersentuhan langsung dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat. 
Sekulerisasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan barat dapat kita lihat dari salah satu penemuan Charles Robert Darwin (1882 M). Pandangan barat mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak berhubungan dengan agama. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Untuk menguatkan hal ini Darwin mengatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan makhluk hidup. Bagi Darwin, asal mula spesies (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup, semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dengan yang lain disebabkan kondisi alam (natural condition).
Pandangan Darwin di atas jelas menunjukkan pemikiran yang sangat sekuler. Darwin berusaha berlepas diri dari agama dan memang itu keyakinan pandangan Barat agar menguatkan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara ilmu pengetahuan dengan agama. Bagaimana mungkin Tuhan tidak berperan dalam penciptaan makhluk hidup. Pandangan ini jelas sangat bertentangan dengan pandangan Islam. Islam mengatakan bahwa pencipta makhluk hidup dan alam semesta ini adalah Tuhan yaitu Allah SWT. Banyak sekali ayat Al-Quran yang menguatkan hal ini, diantaranya.

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui.(Al Mukmin: 57)

Tidak hanya itu, Al-Quran juga merupakan sumber ilmu pengetahuan. Perhatikan arti ayat Al-Quran di bawah ini.

Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.(Al-Baqarah: 2)

Hal inilah yang membedakan antara Islam dengan Barat. Al-Quran merupakan petunjuk buat umat manusia. Petunjuk tidak hanya berkaitan dengan syariat agama tetapi berkaitan pula dengan ayat-ayat kauniyah yang erat sekali dengan ilmu pengetahuan. Al-Quran juga mengungkap tentang asal mula kehidupan, siklus air, peredaran benda-benda langit, astronomi dll yang dapat menginspirasi perkembangan ilmu pengetahuan alam dan sains. Bahkan matematikapun banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran. Penciptaan alam semesta ini melalui perhitungan yang sangat detail oleh Allah SWT. Sehingga, sebenarnya Allah telah menurunkan matematika melalui ayat-ayat Al-Quran, namun kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Demikian pula sebaliknya apakah dalam matematika memuat pula sifat-sifat agamis yang dapat menjadi karakter kepribadian manusia dalam hidup sehari-hari. Makalah ini akan menguraikan bagaimana hubungan antara agama (terutama Al-Quran) dengan matematika yang kita sebut dengan agamis-matematis demikian pula sebaliknya. Kita mulai uraian makalah ini dengan hakekat matematika terlebih dahulu.

Hakekat Matematika
Secara bahasa (lughawi), kata “matematika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “mathema” atau mungkin juga “mathematikos” yang artinya hal-hal yang dipelajari. Bagi orang Yunani, matematika tidak hanya meliputi pengetahuan mengenai angka dan ruang, tetapi juga mengenai musik dan ilmu falak (astronomi). Andi Hakim Nasoetion (1980) menyatakan bahwa matematika berasal dari bahasa Yunani “mathein” atau “manthenein” yang artinya “mempelajari”. Orang Belanda, menyebut matematika dengan wiskunde, yang artinya ilmu pasti. Sedangkan orang Arab, menyebut matematika dengan ‘ilmu al hisab, artinya ilmu berhitung.
Secara istilah, sampai saat ini belum ada definisi yang tepat mengenai matematika. Para ahli filsafat dan ahli matematika telah mencoba membuat definisi matematika, tetapi sampai sekarang belum ada yang menyatakan bahwa jawabannya adalah yang terakhir. Belum ada definisi yang disepakati untuk menjelaskan matematika itu apa. Di antara definisi-definisi yang dibuat para ahli matematika adalah sebagai berikut.
1.      Matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang.
2.      Matematika adalah ilmu tentang besaran (kuantitas).
3.      Matematika adalah ilmu tentang hubungan (relasi).
4.      Matematika adalah ilmu tentang bentuk (abstrak).
5.      Matematika adalah ilmu yang bersifat deduktif.
6.      Matematika adalah ilmu tentang struktur-struktur yang logik.
Meskipun sukar untuk menentukan definisi yang tepat tentang matematika, namun pada dasarnya terdapat sifat-sifat yang mudah dikenali pada matematika. Ciri khas matematika yang tidak dimiliki pengetahuan lain adalah (1) merupakan abstraksi dari dunia nyata, (2) menggunakan bahasa simbol, dan (3) menganut pola pikir deduktif (Abdussakir, 2009).
Matematika merupakan abstraksi dari dunia nyata. Abstraksi secara bahasa berarti proses pengabstrakan. Abstraksi sendiri dapat diartikan sebagai upaya untuk menciptakan definisi dengan jalan memusatkan perhatian pada sifat yang umum dari berbagai objek dan mengabaikan sifat-sifat yang berlainan. Karena matematika merupakan abstraksi dari dunia nyata, maka objek matematika bersifat abstrak, tetapi dapat dipahami maknanya.
Untuk menyatakan hasil abstraksi, diperlukan suatu media komunikasi atau bahasa. Bahasa yang digunakan dalam matematika adalah bahasa simbol. Untuk menyatakan bilangan “dua” digunakan simbol “2”. Simbol untuk bilangan disebut angka. Penggunaan bahasa simbol mempunyai dua keuntungan yaitu (a) sederhana dan universal, dan (b) mempunyai makna yang luas.
Simbol dalam matematika juga mempunyai makna yang luas. Karena luasnya makna yang tersirat, kadang simbol matematika dikatakan tidak bermakna atau kosong dari arti. Simbol matematika kosong dari makna. Sebagai contoh, simbol “2” memang mewakili bilangan dua. Tetapi dalam hal ini “dua apa?”. Simbol itu akan mempunyai makna jika sudah dikaitkan dengan konteks tertentu, misalnya 2 buku.
Selain mempunyai sifat bahwa matematika adalah abstrak dan menggunakan bahasa simbol, matematika bersifat deduktif. Matematika menganut pola pikir atau penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah pola berpikir yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang secara umum sudah terbukti benar. Kebenaran yang diperoleh dari beberapa contoh khusus yang kemudian digeneralisasi, masih dikatakan bersifat induktif dan belum diterima kebenarannya dalam matematika. Kebenaran induktif itu akan diterima setelah dibuktikan dengan penalaran yang ketat dan logis. Meskipun matematika bersifat deduktif, ahli matematika juga tetap memperhatikan ilham, dugaan, pengalaman, daya cipta, rasa, dan fenomena dalam mengembangkan matematika. Kesimpulan dari pengembangan itu akan diterima setelah ditetapkan atau dibuktikan melalui penalaran logis.

Hubungan Agama dan Matematika
Ada petuah yang sangat berharga mengenai pentingnya penguasaan bahasa, yaitu “jika ingin mengenal suatu bangsa, kuasailah bahasanya”. Petuah ini mempunyai arti bahwa jika kita ingin mengenal, memahami atau bahkan berdialog dengan suatu bangsa, baik manusia maupun binatang, maka kuasailah bahasanya. Jika kita ingin berdialog dengan orang Inggris, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa Inggris. Jika kita ingin berdialog dengan orang Malaysia, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa Melayu. Jika kita ingin berdialog, mengerti atau memahami ayat-ayat Qauliyah, yaitu Al-Quran, maka kuasailah bahasa Arab. Lalu, jika kita ingin berdialog, mengerti atau memahami  ayat-ayat kauniyah, yaitu alam semesta,  jagad raya dan isinya, maka bahasa apa yang harus kita kuasai? Bahasa apa yang harus kita gunakan untuk memahaminya? Jawabannya adalah MATEMATIKA.
Cobalah perhatikan tata surya. Perhatikan bentuk matahari, bumi, bulan serta planet-planet yang lain. Semuanya berbentuk bola. Perhatikan bentuk lintasan bumi saat mengelilingi matahari, demikian juga lintasan-lintasan planet lain saat mengelilingi matahari. Lintasannya berbentuk elips. Berdasarkan fakta ini, tidaklah salah jika kemudian pada sekitar tahun 1200 Masehi, Galilio Galilie mengatakan “Mathematics is the language with wich God created the universe”. Melalui penelitian dan penelaahan yang mendalam terhadap fenomena alam semesta, ilmuwan pencetus Teori Big-Bang, yaitu Stephen Hawking akhirnya mengikuti ungkapan Galilio dengan mengatakan “Tuhanlah yang menciptakan alam dengan bahasa itu (Matematika)”.
Jika kita melihat ke dalam Al-Quran, maka kita tidak akan terkejut atau mungkin akan mengatakan bahwa ungkapan Galilio ataupun Hawking adalah basi. Sekitar 600 tahun sebelumnya, Al-Quran sudah menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan secara matematis. Perhatikan firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Qamar ayat 49 yang artinya
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran."

Semua yang ada di alam ini ada ukurannya, ada hitungan-hitungannya, ada rumusnya, atau ada persamaannya.
Ahli matematika atau fisika tidak membuat suatu rumus sedikitpun. Mereka hanya menemukan rumus atau persamaan. Albert Einstein tidak membuat rumus  e = mc2, dia hanya menemukan dan menyimbolkannya. Rumus-rumus yang ada sekarang bukan diciptakan manusia, tetapi sudah disediakan. Manusia hanya menemukan dan menyimbolkan dalam bahasa matematika. Lihatlah bagaimana Archimedes menemukan hitungan mengenai volume benda melalui media air. Hukum Archimedes itu sudah ada sebelumnya, dan dialah yang menemukan pertama kali melalui hasil menelaah dan membaca ketetapan Allah SWT.
Pada masa-masa mutakhir ini, pemodelan-pemodelan matematika yang dilakukan manusia sebenarnya bukan membuat sesuatu yang baru. Pada hakikatnya, mereka hanya mencari persamaan-persamaan atau rumus-rumus yang berlaku pada suatu fenomena. Bahkan, wabah seperti demam berdarah, malaria, tuberkolosis, bahkan flu burung ternyata mempunyai aturan-aturan yang matematis. Sungguh, segala sesuatu telah diciptakan dengan ukuran, perhitungan, rumus, atau persamaan tertentu yang sangat rapi dan teliti. Perhatikan Al-Quran surat Al-Furqan ayat 2 yang artinya
"Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya".
Salah satu kegiatan matematika adalah kalkulasi atau menghitung, sehingga tidak salah jika kemudian ada yang menyebut matematika adalah ilmu hitung atau ilmu al-hisab. Dalam urusan hitung menghitung ini, Allah SWT adalah ahlinya. Allah sangat cepat dalam menghitung dan sangat teliti. Kita perhatikan ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa Allah sangat cepat dalam membuat perhitungan dan sangat teliti.
Dalam Al-Quran surat An-Nuur ayat 39 disebutkan,
artinya:  Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.                        
Dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 199 disebutkan,
artinya:  Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.        
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 202 disebutkan,
artinya:  dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.  
Dalam Al-Quran surat Ar-Ra’d ayat 41 disebutkan,
artinya:  Dia-lah Yang Maha cepat perhitungan-Nya.
Dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 62 disebutkan,
artinya:  Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.
Lalu, siapa yang dapat menghitung dengan cepat kalau bukan ahli matematika? Siapa yang dapat menentukan aturan-aturan, rumus-rumus, ukuran-ukuran, dan hukum-hukum jagad raya dengan begitu telitinya kalau bukan ahli matematika? Lalu, kalau Allah SWT serba maha dalam matematika, mengapa kita tidak mau mempelajarinya? Mengapa kita tidak suka bahkan benci terhadap matematika? Padahal Allah suka dan sangat pintar dalam matematika. Mengapa kita sebagai makhluknya tidak mau menyukai matematika atau bahkan tidak mau mempelajari matematika. Bagaimana kita dapat memahami alam semesta ini yang menggunakan bahasa matematika kalau kita tidak menguasai matematika? Kuncinya adalah kita harus mempelajari matematika. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan matematika walaupun tidak tersirat secara langsung. Itulah tugas kita untuk menggalinya. Demikian pula ayat-ayat kauniyah yang ada di alam semesta ini sangat berhubungan erat dengan matematika. Inilah ciri dari karakter agamis-matematis, bahwa dalam agama juga tidak terlepas dari matematika, ada kaitan erat antara agama dengan matematika.

Karakter Agamis-Matematis
Pada bagian di atas, telah dijelaskan bahwa ada hubungan erat antara agama dengan matematika. Matematika memegang peranan penting untuk dapat mengungkap misteri-misteri yang ada di alam semesta ini baik itu yang tersirat di dalam Al-Quran atau yang ada dalam alam semesta itu sendiri. Namun, pada kenyataannya masih banyak di kalangan umat Islam sendiri yang membenci matematika dan menyatakan bahwa matematika merupakan ilmu kafir. Sungguh suatu fenomena yang aneh. Dzat yang disembah menyukai matematika, sedangkan penyembahnya justru membenci matematika.
Ada ayat dalam Al-Quran yang secara tersirat memerintahkan umat Islam untuk mempelajari matematika, yakni berkenaan dengan masalah faraidh. Masalah faraidh adalah masalah yang berkenaan dengan pengaturan dan pembagian harta warisan bagi ahli waris menurut bagian yang ditentukan dalam Al-Quran. Untuk pembagian harta warisan perlu diketahui lebih dahulu berapa jumlah semua harta warisan yang ditinggalkan, berapa jumlah ahli waris yang berhak menerima, dan berapa bagian yang berhak diterima ahli waris. Berkenaan dengan bagian yang berhak diterima oleh ahli waris, Al-Quran menjelaskan dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12, dan 176. Ketentuan bagian yang berhak diterima oleh ahli waris disebut  furudhul muqaddarah. Terdapat enam macam furudhul muqaddarah, yaitu ..., ..., ..., ..., ..., dan ....
Untuk dapat memahami dan dapat melaksanakan masalah faraidh dengan baik maka hal yang perlu dipahami lebih dahulu adalah konsep matematika yang berkaitan dengan bilangan pecahan, pecahan senilai, konsep keterbagian, faktor persekutuan terbesar (FPB), kelipatan persekutan terkecil (KPK), dan konsep pengukuran yang meliputi pengukuran luas, berat, dan volume. Pemahaman terhadap konsep-konsep tersebut akan memudahkan untuk memahami masalah faraidh.
Selain masalah faraidh, tertulis dalam Al-Quran bahwa tujuan diciptakannya matahari dan bulan salah satunya adalah agar manusia dapat mengetahui perhitungan waktu, sebagaimana firman Allah dalam QS Yunus ayat 5.
Artinya:  Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Masalah penentuan awal waktu shalat, awal bulan, awal tahun, pembuatan kalender hijriyah atau masehi, bahkan arah kiblat secara tepat dan akurat banyak memerlukan bantuan matematika. Sesuatu yang sungguh tidak masuk akal adalah ketika ada seorang tokoh agama yang menetapkan awal waktu shalat dengan  rubu’  tetapi membenci matematika. Dia tidak mengerti bahwa arti kata rubu’ adalah seperempat, yaitu seperempat lingkaran. Dia tidak mengerti bahwa rubu’ banyak melibatkan konsep trigonometri yang merupakan materi matematika. Apakah tidak aneh jika orang telah menggunakan matematika, tetapi  menyatakan matematika ilmu kafir dan membencinya?
Pada sekitar abad ke-8 dan 9 Masehi, ilmu pengetahuan yang paling disukai umat Islam adalah matematika dan astronomi. Aritmetika dipelajari oleh matematikawan muslim untuk menghitung warisan dan pembuatan kalender Islam. Matematika atau geografi astronomi diperlukan untuk menentukan arah kiblat. Astronomi juga diperlukan untuk penentuan awal shalat, awal dan akhir puasa Ramadhan, serta hari raya umat Islam. Ayat Al-Quran dan As-Sunnah banyak yang menyinggung masalah ini. Demikian pula pengetahuan mengenai posisi bintang sangat membantu dalam mengatur petunjuk perjalanan untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan, kaum muslimin menjelang abad ke-9 terkenal sebagai pengembang observatorium.
Dalam penentuan posisi hilal (bulan baru) tidak terlepas dari peran matematika. Di Indonesia disepakati untuk dapat melihat posisi hilal harus berada 3 derajat di atas ufuk. Untuk dapat mengetahui berapa besarnya 3 derajat ini harus menggunakan matematika yaitu trigonometri. Mungkin agak sedikit berbeda antara 3 derajat pada bidang datar dengan bangun ruang. Kita tahu bahwa bahwa bumi ini berbentuk bulat (bangun ruang), sehingga untuk menentukan besarnya 3 derajat ini bisa menggunakan aturan-aturan trigonometri pada bangun ruang (bola). Namun untuk dapat melihat posisi hilal kadang kala memiliki keterbatasan, misal cuaca yang tidak mendukung. Ada cara lain yang dapat digunakan untuk melihat posisi hilal apakah benar-benar sudah di atas ufuk yaitu dengan menggunakan metode hisab. Metode ini melalui perhitungan matematis peredaran matahari dan bulan selama satu tahun penuh. Dengan metode ini dapat diketahui kapan bulan baru akan muncul di atas ufuk, karena pada dasarnya semua peredaran benda-benda langit selalu tetap yaitu mengikuti sunatullah. Sehingga dalam hal ini keterbatasan dalam memahami hukum-hukum agama dapat dibantu dengan pendekatan matematis. Inilah seharusnya dapat menjadi suatu karakter mahasiswa muslim dalam memahami ayat-ayat Allah, ada kaitan erat antara agama dengan matematika. Insyaallah dapat menjadikan mahasiswa yang memiliki karakter agamis-matematis.

Karakter Matematis-Agamis
Banyak pandangan tentang matematika, beberapa mengemukakan tentang ciri objeknya. Ada juga yang memandangnya dari pengaruhnya terhadap pola pikir dan pola tindak seseorang. Dengan kata lain sifat yang ada pada matematika dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Kepribadian matematika seseorang adalah hasil tempaan dari pemahaman dan pengalamannya tentang matematika. Pengalaman seseorang atau mahasiswa tentang matematika dapat membangun pola sikap yang positif, antara lain sikap rasional, sistematis dalam bertindak, kreatif, disiplin, hati-hati dan sikap lain yang positif dalam berpikir, berbicara dan bertindak  (Djoko Iswadji, 2010).  Kalimat itu dapat dipahami karena matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang tersusun secara hirarkis dari segi penalaran deduktif. Dengan demikian, mereka yang mempelajari matematika dengan sungguh-sungguh dan penuh pemahaman diharapkan memiliki sifat-sifat positif yang agamis, antara lain:
1.      Sederhana
Sifat ini dapat terbangun dari konsensus dalam matematika bahwa setiap persyaratan baik dalam penyusunan definisi, teorema, maupun penyelesaian akhir harus disajikan dalam bentuk yang paling sederhana. Sebagai contoh dalam matematika diusahakan untuk menyederhanakan bentuk pecahan atau bentuk aljabar dalam bentuk yang paling sederhana. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah bahwa kita dianjurkan untuk hidup secara sederhana di dunia ini dan tidak berlebih-lebihan.
2.      Rasional
Setiap langkah dalam penyelesaian masalah matematika secara deduktif maupun induktif harus selalu didasarkan atas alasan yang jelas, rasional dan logis dan dapat dibuktikan kebenarannya. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah kita harus mengemukakan alasan-alasan yang rasional dan logis dalam menyampaikan pendapat ketika berdiskusi atau bermusyawarah.
3.      Sistematis
Dalam setiap langkah penyelesaian masalah harus dimulai dengan suatu perencanaan yang disusun dalam urutan yang sistematis. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah dalam setiap kita melakukan suatu pekerjaan harus tertata dengan baik dan tidak membuat langkah yang tidak berguna.
4.      Kreatif
Dalam pemecahan masalah matematika dituntut kemampuan melakukan rekayasa, atau manipulasi bentuk-bentuk aljabar ataupun geometri untuk dapat memudahkan menemukan jawabannya. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah ketika menjumpai permasalahan dalam kehidupan kita dianjurkan agar menyelesaikannya secara kreatif.
5.      Cermat dan hati-hati
Dalam penyusunan definisi harus dipilih kata-kata tertentu dalam susunan yang khusus, sehingga tidak mendua arti. Demikian juga dalam perhitungan, tanpa kehati-hatian dan kecermatan, sekalipun menggunakan perlengkapan canggih, harus diutamakan agar diperoleh hasil yang optimal. Dalam matematika jika kita tidak cermat dalam melakukan perhitungan maka bisa berakibat jawaban yang salah. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah sifat cermat dan hati-hati sangat penting dalam kehidupan agar kita tidak salah dalam melangkah.
6.      Kritis (matematika dapat menumbuhkan sifat kritis)
Dalam menyelesaikan masalah kita harus kritis apakah jawaban yang ada apakah sudah benar atau belum. Bisa saja apa yang disampaikan teman, guru atau dosen dalam menjawab masalah belum sepenuhnya benar. Sifat ini sangat penting dalam kehidupan agar kita memiliki sikap yang kritis terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita. Coba renungkan Al-Quran surat An-Nuur ayat 31.
7.      Pasti
Matematika bersifat pasti dan tidak menduga-duga. Jawaban masalah dalam matematika bersifat pasti, inilah yang membedakan matematika dengan ilmu yang lain. Sifat agamis yang dapat kita ambil adalah meyakani bahwa datangnya hari akhir itu pasti.
8.      Sabar
Belajar matematika juga mengajarkan kita menjadi orang yang sabar dalam menghadapi semua hal dalam hidup ini. Saat kita mengerjakan soal dalam matematika yang penyelesaiannya sangat panjang dan rumit, tentu kita harus bersabar dan tidak cepat putus asa. Jika ada langkah yang salah, coba untuk diteliti lagi dari awal, jangan-jangan ada angka yang salah, jangan-jangan ada perhitungan yang salah.
9.      Objektif/Jujur
Belajar matematika mengajarkan kepada kita sifat objektif atau jujur. Objektif dalan arti memang jawabannya seperti itu dan tidak dibuat-buat. Usahakan dalam hidup ini kita bersifat objektif dan tidak bersifat subjektif.
10.  Konsisten/Istiqomah
Penulisan dalam matematika selalu konsisten tidak berubah-ubah. Penulisan simbol selalu sama walaupun berbeda tempat dan wilayah. Sifat konsisten/istiqomah ini juga sesuai dengan ajaran islam bahwa kita diusahakan agar selalu istiqomah dalam menjalankan perintah Allah. Sebaik-baik amal seorang hamba adalah yang selalu istiqomah walaupun itu sedikit.
11.  Efektif dan Efisien
Dalam menyelesaikan masalah matematika kadang dijumpai solusi yang beragam atau dijumpai tidak hanya satu solusi. Kita harus bisa memilih mana solusi yang paling efektif agar waktu yang ditempuh efisien. Sifat ini dapat kita contoh sehari-hari dalam melakukan pekerjaan atau belajar agar efektif dan efisien.

Selain itu matematika juga memiliki sifat atau karakteristik yang dapat kita kaitkan dengan kehidupan agamis. Sifat atau karakteristik bisa diambil langsung dari matematika itu sendiri.
1.      Hirarkis
Matematika bersifat hirarkis, untuk mengusai matematika tingkat lanjut harus mengusai tingkat dasar terlebih dahulu. Demikian pula dalam kehidupan, untuk bisa sukses dalam kehidupan harus dimulai dari dasar terlebih dulu. Banyak kita jumpai orang-orang yang sukses sekarang ini dulunya ia berasal dari kehidupan yang sederhana atau dimulai dari dasar.
2.      Silaturahmi
Matematika juga mengajarkan silaturahmi. Sifat ini dapat kita ambil ketika belajar pemetaan atau relasi. Dalam pemetaan setiap anggota domain dapat dipetakan ke semua anggota kodomain. Sifat yang dapat diambil adalah kita dapat bersilaturahmi kemana saja, tidak ada halangan bersilaturahmi dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi). (HR: Muslim)
3.      Mengambil Saripati
Konsep turunan mengajarkan kepada kita untuk dapat mengambil inti atau saripati dalam setiap proses. Untuk dapat mengetahui titik stasioner suatu fungsi maka fungsi tersebut harus diturunkan terlebih dahulu. Kadang kala kita tidak bisa mengambil manfaat langsung dari sesuatu tetapi harus diturunkan dulu, contoh: bensin diturunkan dari minyak bumi, minyak sayur diturunkan dari kopra, jus dapat diturunkan dari buah, dsb).
4.      Mengembang
Alam semesta ini bersifat mengembang. Konsep ini sangat relevan ketika kita belajar garis bilangan real. Garis bilangan real itu mengembang, tiada akhir baik pada sumbu positif atau negatif. Alam semesta ini mengembang dan tidak statis, seperti suatu balon yang ditiup.
5.      Awal dan Akhir Kehidupan
Vektor mengajarkan kepada kita untuk menggambar dari suatu pangkal dan berakhir di ujung. Demikian pula dalam kehidupan ini ada awal dan akhir.
6.      Peluang
Peluang mengajarkan kepada kita bahwa kemungkinan suatu kejadian itu ada. Intinya kita tidak boleh pesimis dalam hidup ini.
7.      Limit
Segala suatu kehidupan akan mendekati limit, contoh: keuangan, kehidupan, masalah dan bahkan sesuatu yang dibeli akan mendekati limit, dsb.

8.      Islam Itu Satu
Konsep integral dapat mengajarkan kepada kita bahwa islam itu satu. Bentuk integral merupakan jumlah dari suatu luasan yang mendekati tak hingga. Luasan ini tidak hanya satu tetapi banyak, yang disatukan dalam suatu simbol dalam matematika yaitu integral. Demikian pula umat islam, walaupun sekarang ini terpecah dalam berbagai kelompok namun seharusnya islam itu satu yang dapat disatukan dalam suatu sistem.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai...” (TQS, Ali Imron: 103).
9.      Siklus Kehidupan
Siklus kehidupan menggambarkan naik turunnya proses kehidupan ini,  kadang kala kita di atas, kadang kita di bawah. Hal ini sangat identik dengan grafik trigonometri fungsi sinus dan cosinus. Grafik ini sepertinya dapat menggambarkan suatu proses kehidupan manusia.
Masih banyak materi matematika yang dapat dikaitkan dengan kehidupan ini, tentunya dilihat dari sisi agamisnya ataupun dari sisi sains. Silahkan para mahasiswa dapat menggali lebih jauh apa yang belum tertulis dalam makalah ini. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi mahasiswa untuk dapat berperilaku secara matematis-agamis ataupun sebaliknya.


Daftar Pustaka

Abdussakir. 2009. Pentingnya Matematika Dalam Pemikiran Islam. Disampaikan pada Seminar Internasional “The Role of Sciences and Technology in Islamic Civilization” di UIN Malang, tahun 2009.
Adnin Armas. 2013. Sekulerisasi Ilmu. Jakarta: Gema Insani.
Al-Quran dan Terjemahan. Tersedia dalam Digital Quran versi 3.1.
Andi Hakim Nasoetion. 1980. Landasan Matematika. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Dinar Dewi Kania. 2013. Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu. Jakarta: Gema Insani.
Djoko Iswadji. 2010. Matematika vs Kehidupan Manusia. Yogyakarta: UAD
Nashruddin Syarif. 2013. Konsep Ilmu Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani.
Shahih Muslim. Kumpulan dan Referensi Belajar Hadits. Tersedia dalam Haditsweb versi 3.0.


Himpunan Mahasiswa Pendidikan Matematika
Universites Muhammadiyah Purworejo
 Purworejo, 15 Mei 2014